Setiap tanggal 2 Oktober, Indonesia merayakan Hari Batik Nasional. Penetapan tanggal ini bukan merujuk pada hari lahirnya batik, melainkan berawal dari momen bersejarah ketika UNESCO menetapkan Batik Indonesia sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity (Warisan Budaya Takbenda milik kemanusiaan) pada 2 Oktober 2009. Pengakuan dunia ini menegaskan bahwa batik bukan sekadar kain bergambar, tetapi sebuah seni adiluhung yang menyimpan nilai budaya, filosofi mendalam, keterampilan, serta sejarah panjang bangsa Indonesia.

Batik secara sederhana didefinisikan sebagai kain yang hiasannya dibuat menggunakan malam (lilin) sebagai bahan perintang warna, sehingga zat warna tidak dapat menembus bagian kain yang tertutup malam saat proses pencelupan. Proses pembubuhan malam di atas kain dilakukan dengan menggunakan canting. Sebuah alat kecil dengan ujung pipa tembaga yang berpegangan kayu atau bambu.
Pengakuan batik oleh UNESCO menjadi sangat penting mengingat teknik serupa membatik juga dikenal luas di berbagai daerah, bahkan di luar Jawa. Peneliti awal asal Belanda, Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928), menelusuri akar kata batik dan menemukan bahwa istilah ini dikenal luas dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Menurutnya, kata mbatik (bentuk kerja dari hambatik) yang semula berarti menulis, menggambar, dan melukis dalam bahasa sehari-hari, telah berevolusi maknanya menjadi lebih khusus, yakni menggambar dengan lilin untuk menghasilkan pola di atas kain. Dia menautkan kata tersebut dengan istilah-istilah di berbagai suku lain. Misalnya kata Apatik dari Dayak untuk tato. Mahapatik dari Minahasa, Sulawesi Utara untuk menulis. Patik dan Spatik dari bahasa Tagalog untuk melukis. Dan Patik dari bahasa Visayas, Panay, Samar, Bahor, dan Cebu untuk menggambar.
Baca juga >> Batik: Warisan yang Terus Terjaga
Memang tidak ada tanggal pasti kapan teknik batik mulai digunakan di Jawa. Namun bukti-bukti menunjukkan bahwa teknik batik telah ada sejak masa Jawa Kuno. Bahkan jauh sebelum kata bathik atau hambathik secara eksplisit muncul dalam kitab sastra Jawa seperti Babad Sengkala (1633) dan Panji Jaya Lengkara (1770).

Sejarawan Belanda Jan Laurens Andries Brandes berpendapat bahwa menenun dan membatik adalah salah satu keahlian asli bangsa Jawa sebelum kedatangan kebudayaan India. Bukti-bukti tersebut terlihat pada Arca dan Candi Abad ke-9 hingga ke-12. Seperti Candi Plaosan Lor di Klaten, Abad ke-9 yang mengukir motif ceplok. Kemudian Candi Prambanan, di Sleman pada abad ke-9 yang menampilkan berbagai motif sulur-suluran (tumbuhan menjalar). Lalu Arca Nandiswara pada Candi Singasari di Malang, pada abad ke-12 yang digambarkan mengenakan kain bermotif batik yang halus.

Baca juga >> Batik: Nafas dan Denyut Nadi Pekalongan
Sebelum abad ke-16, meskipun kata bathik belum ditemukan, sinonimnya yang berarti menggambar atau menulis sudah ada. Kata-kata seperti tinulis, tulisnya, dan sinurat dalam konteks tekstil mengindikasikan aktivitas membatik. Kakawin Arjuna Wihana pada abad ke-11 menyebutkan kalimat yang berarti “seperti kecantikan matahari terbenam mempunyai kain sebagai penutup yang digambari randi berwarna merah yang khas,” yang diduga kuat merujuk pada kain batik.
Bukti-bukti ini menguatkan dugaan bahwa masyarakat Jawa telah menguasai teknik batik kemungkinan jauh sebelum abad ke-9, menjadikannya warisan budaya yang usianya sudah berabad-abad.

Bukti keberadaan canting dan lilin, sebagai alat utama membatik, canting, juga memiliki jejak kuno. Dalam Prasasti Jurunan (954 M) menyebut nama tuba padahi-nya adalah Si Canṭiŋ. Kemudian berita dari Dinasti Song di Cina pada abad ke-10 hingga ke-13, menyebutkan bahwa nila dan lilin untuk membatik merupakan komoditas impor yang diperdagangkan. Arca Ganesya bermuka dua dari Boro dan Arca Kertajasa di Malang, abad ke-13, era Kerajaan Singasari, mengabadikan motif kawung yang dibuat menggunakan canting bercarat dua.
Baca juga >> Plagiarisme Motif Kain Batik
Kehadiran canting dan malam (lilin) pada abad-abad tersebut semakin memperkuat hipotesis bahwa teknik membatik, menggambar dengan lilin di atas kain untuk menahan warna, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Nusantara.
Dengan demikian, Hari Batik Nasional yang diperingati setiap 2 Oktober adalah perayaan atas pengakuan global terhadap sebuah seni adiluhung yang telah mengakar kuat dalam peradaban Indonesia sejak masa kuno.