Momen ini akhirnya tiba. Batik Oey Soe Tjoen (OST) telah genap 100 tahun mengarungi dunia batik tulis yang sarat kegetiran-kegembiraan, rasa sedih-senang, asam-garam, dan pahit-manis. Melalui pameran Keteguhan Hati Merawat Warisan, generasi ketiga Rumah Batik OST, Oey Kiem Lian—atau yang acap dikenal Widianti Widjaja—menampilkan karya-karya dari tiga generasi dan melakukan reka ulang perjalanan panjang tersebut. Pameran tersebut dihelat selama 10 hari, sejak 25 Juli hingga 3 Agustus 2025 di Galeri Emiria Soenassa, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Ketelatenan dan Kompleksitas di Balik Layar
Selain sebagai momentum peringatan 100 tahun, banyak alasan yang mendorong Widianti menghelat pameran. Baginya, pameran ini ditujukan untuk meninggalkan jejak digital dan mengenalkan karya batik tulis halus kepada generasi yang lebih muda. Widianti mengatakan, batik tulis halus merupakan kesenian yang hampir lenyap dimakan zaman.
Keindahan sebuah batik tulis tak hanya muncul pada corak, tapi juga pada pengerjaannya yang penuh akan kompleksitas, kesabaran, dan ketekunan. Pendek kata, keistimewaan batik OST terletak pada warisan kualitas batik. Sebab proses pembuatan batik di balik layar sangat rumit dan panjang. Setidaknya satu kain batik baru selesai satu hingga dua tahun dengan proses pewarnaan 15-17 kali. Semua tahapan juga diilustrasikan dalam pameran melalui spesimen kain yang merepresentasikan tiap tahap pewarnaan.
Dalam buku karya Widianti berjudul Dari Pelangi untuk Semesta (2025), pengerjaan kain batik di balik layar dipaparkan secara cukup rinci. Penjemuran kain mori misalnya, mesti dilakukan melalui proses kimiawi di bawah sinar mentari di antara pukul 9 dan 11 pagi. Proses penjaretan dua sisi kain juga mesti presisi dan dilakukan dalam waktu sekira empat hari.
Dalam buku pertama, Merajut Asa dalam Sejuta Impian (2020), Widianti membagikan ceritanya saat memulai petualangan di dunia batik. Dia menuturkan proses pewarnaan (ngelir) yang memadukan obat warna sesuai rumus dan catatan tinggalan sang ayah, Oey Kam Long, amatlah menantang. Betapa tidak, penakaran dan pemaduan warna rumusan Oey Kam Long tidaklah pasti dan diukur secara “kira-kira”.

Sepanjang permulaannya bergelut di dunia batik, Widianti bahkan terpaksa berkorban 13 helai kain. Helai-helai kain tersebut terkoyak karena beberapa hal: seratnya putus karena kebanyakan air keras, tersobek saat pengerokan malam, warna bunganya kelewat pucat karena ketidakcermatan dalam proses celup, dan lain sebagainya. Sekalipun jalan yang dilalui amat terjal, Widianti bisa melewatinya dan tetap bertahan hingga hari ini.
Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) sekaligus salah satu pengoleksi batik OST, Sugijanto H. Soetopo menuturkan, tidak banyak orang melihat proses pembatikan dari nol sampai jadi. Sugijanto menambahkan, ia mengagumi bagaimana keluarga OST memiliki ketekunan, ketelatenan, dan keteguhan luar biasa dalam mempertahankan kualitas karya batiknya, bahkan ketika kondisi tidak baik-baik saja.
Sejarawan Peter Carey turut buka suara atas kegigihan yang dicurahkan, misalnya, oleh generasi ketiga OST, Widianti Widjaja. Peter Carey menyebut, dedikasi Widianti amatlah menginspirasi. Betapa tidak, Widianti yang berlatarkan pendidikan akuntansi, bersedia terjun di dunia batik tulis untuk menyelamatkan warisan keluarga yang luar biasa agar terus eksis.
Guratan dan Peristiwa
Tiap generasi tentu memiliki kekhasan dan tantangan yang berbeda-beda. Sekalipun, dalam wawancara sebelum pameran, Widianti mengatakan, memang tidak ada perubahan elementer pada pola, pakem, dan mutu dari tiap generasi, lebih-lebih ketika transisi dari generasi OST ke Oey Kam Long. Yang menjelma pembeda tak lain adalah konsumen dan perilakunya yang senantiasa merepresentasikan dari era mana mereka berasal.
Sepanjang era Oey Soe Tjoen, kain batik tulis halus OST menjadi elemen pokok dalam dalam pernikahan. Pengantin menilai kain batik tulis OST memiliki kualitas yang menjajaki level seserahan cukup tinggi. Sebab, kala itu, kain batik OST beredar di kalangan usahawan kaya yang, misalnya, membidangi produksi rokok dan cengkeh. Lebih-lebih, saat itu, bawahan batik adalah bagian tak terpisahkan dari setelan kebaya encim yang dipakai oleh mayoritas perempuan peranakan.
Kain batik OST yang masyhur dan autentik dari era ini salah satunya adalah kain bawahan sembilan warna karya Kwee Nettie, istri Oey Soe Tjoen. Kain itu menjadi masterpiece yang amat dikagumi Rudolf Smend. Pujian Smend dilayangkan atas kepiawaian Kwee Nettie menuliskan motif batik berupa isian pita-pita berlebar vertikal dan diagonal—dalam bahasa Jawa disebut dlorong. Badan kain, tergurat pita-pita vertikal dengan unsur daun dan teratai yang berselang-seling dengan pita-pita bunga melati.

Kain sembilan warna itu melanglang buana ke benua seberang pada 1971—1972. Mahakarya Kwee Nettie tersebut pernah menyita perhatian publik Jerman ketika dipajang di Galerie Smend, Kota Koln. Setelah 20 tahun, kain sembilan warna pulang melalui tangan pengoleksi batik Mulyadi Utomo. Pameran 100 Tahun Rumah Batik Oey Soe Tjoen ini makin terasa spesial karena kain Kwee Nettie tersebut hadir dan ambil bagian di dalamnya.
Namun, ada pula kain yang menjadi saksi bisu penjarahan tatkala Jepang memulai penjajahannya. Kedatangan Jepang tahun 1942 turut memicu penjarahan di permukiman Tionghoa Kedungwuni. Hal itu lantaran provokasi cum tuduhan tak mendasar bahwa warga Tionghoa adalah antek Belanda. Rumah Kidul OST tak luput dijarah massa yang datang entah dari mana. Seluruh perabot habis dijarah. Pun kain batik yang sudah tuntas dikerjakan dan yang belum digondol massa, menyisakan beberapa potong kain kotor yang terendam dalam sebuah ember. Potongan kain itu juga dimunculkan dalam pameran.
Pameran 100 Tahun Rumah Batik Oey Soe Tjoen bukan sekadar perayaan umur panjang sebuah rumah batik, melainkan juga pengingat akan keteguhan hati, konsistensi estetika, dan kekuatan ingatan lintas generasi. Di tengah derasnya arus industrialisasi—misalnya lewat batik cetak atau batik printing, kisah keluarga Oey Soe Tjoen memperlihatkan bahwa menjaga warisan bukan sekadar soal mempertahankan kualitas dan pakem, melainkan juga keberanian untuk terus menghidupkan semangat, nilai, dan proses yang melatarinya.

Melalui tangan-tangan gigih seperti Widianti Widjaja dan karya-karya lintas generasi yang hadir dalam pameran ini, khalayak tidak hanya diajak melihat batik sebagai produk budaya, tapi juga sebagai narasi hidup yang penuh perjuangan, kehilangan, penemuan, dan cinta yang diwariskan. Tak ayal, seratus tahun OST adalah sebuah penanda bahwa dalam helai-helai batik tulis yang halus itu, berdiam keteguhan yang tak lekang oleh waktu.
Sumber:
Mawardi, Tatang. April-September 2019. “Representasi Buketan pada Batik Oey Soe Tjoen”. Jurnal Urban 3 (2).
Rumah Batik Oey Soe Tjoen / Akun Instagram @oey.soetjoen: https://www.instagram.com/oey.soetjoen?igsh=MWg0MmoxZGkyNWx3NA== (diakses pada 27 Juli 2025).
Smend, Rudolf et al. 2016. Batik: Traditional Textiles of Indonesia from The Rudolf Smend and Donald Harper Collections. Tokyo: Tuttle Publishing.
Widjaja, Widianti. 2020. Merajut Asa dalam Sejuta Impian. Lembaga Kajian Batik dan CV Selomita.