
Di tengah belantara sejarah batik Indonesia, nama Oey Kam Long mencuat sebagai salah satu pelanjut tradisi batik tulis yang tak hanya setia pada akar, tetapi juga berani menavigasi gelombang zaman. Kisahnya berawal dari sebuah kota kecil di utara Jawa, jauh dari gemerlap Paris sebagai ibu kota fesyen dunia.
Pada tanggal 18 Februari 1939, seorang bayi laki-laki lahir di Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, yang kala itu masih merupakan bagian dari koloni Hindia Belanda. Bayi tersebut diberi nama Oey Kam Long, kelak dikenal pula sebagai Muljadi Widjaja. Ia merupakan putra dari pasangan Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio—yang akrab disapa Kwee Nettie—dua nama yang kelak mengukir peran penting dalam sejarah batik tulis di Pekalongan.
Kwee Nettie berasal dari keluarga pembatik dari Kabupaten Batang. Ia dikenal luas karena keahliannya dalam membuat kain sarung sembilan warna, yang dihiasi motif dlorong—pita-pita lebar yang disusun vertikal dan diagonal. Pada badan kain, ia menambahkan pita-pita vertikal bermotif bunga melati, daun, dan teratai, yang mencerminkan kepiawaiannya dalam memainkan ragam isen-isen batik.
Sementara itu, suaminya, Oey Soe Tjoen (atau Soetjondro Widjaja), adalah pemilik usaha batik ternama yang menurut peneliti dan kolektor batik asal Jerman, Rudolf Smend, menghasilkan salah satu batik terbaik di Jawa. Ia dikenal karena perhatian detail yang luar biasa terhadap komposisi, gradasi warna, dan efek tiga dimensi pada motif buket bunga yang khas. Gaya ini awalnya berkembang di kalangan pembatik Indo-Eropa pada 1920-an, tetapi kemudian diadaptasi pula oleh komunitas Tionghoa di pantai utara Jawa, termasuk keluarga Oey.
Warisan artistik kedua orang tuanya itu menjadi bekal penting bagi Oey Kam Long ketika ia mengambil alih tongkat estafet usaha batik OST (Oey Soe Tjoen) pada paruh kedua dekade 1970-an. Meski sempat menempuh studi hukum di Universitas Janabadra, Yogyakarta, ia memilih kembali ke Kedungwuni dan melanjutkan usaha keluarga. Keputusan ini menandai dimulainya kiprah Oey Kam Long selama 26 tahun sebagai generasi kedua penerus Batik OST.

Sumber: Widiawati Widjaja, 2020
Pada November 1971, ia menikah dengan Lie Tjien Nio (Istijanti Setiono). Dari pernikahan tersebut lahirlah tiga anak: Oey Kiem Hok (1972), Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja (1976), dan Oey Kiem San. Salah satu sisi menarik dari kepribadian Oey Kam Long adalah pandangannya yang unik soal pendidikan. Ia sempat menolak keinginan anak perempuannya untuk melanjutkan studi magister, dengan alasan bahwa pilihan hidup sang anak—baik sebagai pengusaha sembako, ibu rumah tangga, atau penerus usaha batik—tak membutuhkan gelar tinggi. Pandangan ini berbeda dari sang istri yang lebih mendukung pentingnya pendidikan tinggi.
Selain itu, Oey Kam Long dikenal sebagai pribadi yang teguh dan loyal. Ia terus berkarya bahkan saat kesehatannya mulai menurun pada awal 2000-an. Ia merahasiakan sakit yang dideritanya hingga akhirnya tumbang saat tengah membatik dan dirawat di RS Telogorejo, Semarang. Di sanalah ia menghembuskan napas terakhir pada 18 Oktober 2002, satu hari setelah dirawat, dalam usia 63 tahun.
Salah satu bentuk keteguhannya terlihat saat sebagian besar perajin batik di Pekalongan mulai beralih ke bahan sutera pada 1980-an. Ketika seorang pelanggan asal Jepang ingin memesan kimono bermotif merak ati dari kain sutera, Oey Kam Long tidak langsung mengiyakan. Ia lebih dulu berkonsultasi dengan ayahnya, yang menyarankan agar mereka tetap pada jalur batik berbahan mori. Nasihat ini dimaknai Oey Kam Long sebagai ajakan untuk mempertahankan identitas Batik OST dan tidak larut dalam tren pasar.

Di bawah pengelolaannya, Batik OST mengalami dinamika pasang surut. Nama OST bahkan menembus pasar internasional berkat publikasi dari Rudolf Smend dalam Guide to Java. Namun pada saat yang sama, Oey Kam Long juga harus menghadapi tantangan dari meluasnya produk batik cetak (batik printing) yang menggempur pasar lokal.
Setelah kepergiannya, usaha Batik OST tetap hidup dan diteruskan oleh putrinya, Widianti Widjaja, hingga hari ini—seratus tahun sejak pertama kali Oey Soe Tjoen mendirikannya. Dari sinilah kita belajar bahwa batik bukan sekadar kain bermotif, melainkan kisah lintas generasi yang sarat ketekunan, komitmen pada nilai, dan perjuangan mempertahankan warisan budaya dalam pusaran perubahan zaman.
Sumber
Smend, Rudolf et al. 2016. Batik: Traditional Textiles of Indonesia from The Rudolf Smend and Donald Harper Collections. Tokyo: Tuttle Publishing.
Waspada edisi 17 Agustus 1987
Widjaja, Widianti. 2020. Oey Soe Tjoen: Merajut Asa dalam Sejuta Impian, Lembaga Kajian Batik dan CV Selomita.