Batik: Warisan Seni Lukis yang Terus Terjaga

Batik menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang masih sangat eksis hingga hari ini. Penggunaan kain batik saat ini tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan formal. Tapi juga sering digunakan sebagai pakaian harian. Tentu dengan desain yang lebih luwes atau ready to wear. Penggunaannya juga tidak terbatas pada kelompok tua, tapi anak muda, remaja hingga anak-anak.

Sumber: Shutterstock

Sebagai warisan budaya asli Indonesia, batik telah diakui dunia. UNESCO secara resmi mengakui batik sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTb) pada 2 Oktober 2009 silam. Pengakuan itu menjadikan batik Indonesia sebagai WBTb Indonesia ke-3. Setelah keris dan wayang.

Batik sejatinya dikenal dunia sejak dahulu. Berdasarkan catatan kolonial, C.Th. van Deventer (1904) penggambaran aktivitas membatik ditulis oleh Van Goens pada tahun 1656. Seorang perwira Vereenigde Oost Indische (VOC) itu sedikit menyebut soal batik saat menggambarkan kondisi Jawa Tengah tahun 1656. Keterangan batik itu tergambar saat Van Goens mendeskripsikan keahlian dari empat ribu ‘pekerja perempuan’ yang berada di bawah dina Raja Mataram untuk keperluan istana. Bahwa pekerjaan perempuan meliputi tugas dapur, menenun, menyulam, memintal, menyulam, melukis, menjahit dan semua yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan.

Para sejarawan menilai bahwa kata ‘melukis’ dalam catatan itu adalah membatik. Karena dalam konteks Jawa, batik itu melukis dengan lilin di atas kain katun.

Sumber: collectienederland.nl

Lalu Cornelis Chastelein, pejabat VOC juga mencatat pada tahun 1707 bahwa di sekitar Batavia dan sekitarnya banyak orang melukis kain katun putih buatannya sendiri dengan cara mereka sendiri yang disebut batex. Itu menandakan bahwa selendang yang biasanya menjadi kain penutup untuk perempuan dibatik dari katun halus yang ditenun sendiri.

Pada tahun 1787, residen Bantam (saat ini Banten) Jhr. J. De Rovere Van Breugel juga mencatat dalam laporannya, bahwa sogan adalah pewarna alami dari rebusan kulit kayu soga yang sering digunakan untuk batik. Cajoe soga biasanya digunakan untuk pewarnaan warna coklat. Dalam laporannya itu, bahkan setiap tahunnya, sekitar seribu pikul kulit kayu diangkut ke ibu kota Bantam untuk keperluan batik dan pewarnaan jaring nelayan.

Namun memang catatan yang paling terkenal mengenai batik ditulis oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang terkenal The History of Java. Buku yang diterbitkan di London pada tahun 1817 itu menjadi buku orang eropa pertama yang mendeskripsikan batik Jawa sebagai kain yang dilukis dengan bahan pewarna sebagai ‘khas dari Jawa’.

Sumber: Wikipedia

Raffles mencatat dari berbagai jenis kain katun dan sutra berwarna, ada kain yang memiliki pola yang sangat banyak. Kain yang memiliki banyak pola itu disebut batik. Setidaknya tidak kurang dari seratusan pola memiliki namanya masing-masing. Namun beberapa pola khusus hanya diperuntukkan hanya untuk raja. Seperti batik parang rusa dan batik sawat.

Serta beberapa pola lainnya yang menunjukkan status pemakainya. Harganya yang lebih tinggi atau rendah. Pola-pola dilukis dalam kain yang variatif. Raffles menyebutkan ada tiga variasi utama saat itu. Yakni batik latar putih, latar ireng (hitam) dan latar abang (merah).

Sumber: collectienederland.nl

Batik jawa itu kemudian membuat banyak orang Eropa tertarik, terutama orang-orang Inggris. Bahkan sekitar tahun 1813, industri tekstil Inggris memproduksi sejumlah ‘katun cetak Inggris’ yang meniru pola Jawa dan Melayu. Namun keberhasilannya memang tidak besar. Karena para pembeli kemudian sadar bahwa warna-warna kain buatan orang Inggris itu tidak tahan lama.

Namun batik sendiri bisa jadi lebih tua dari arsip orang-orang Eropa. Mengutip Siti Maziyah (2025), kata “batik” atau “hambathik” memang pertama kali ditemukan dalam Babad Sengkalayang (1633) dan Panji Jaya Lengkara (1770). Sebelum abad ke-17, istilah membatik tidak ditemukan dalam prasasti atau kitab kesusastraan. Tetapi itu tidak berarti bahwa aktivitas membatik belum ada.

Sumber: Wikipedia

Para ahli sejarah, seperti Brandes (1889), menyatakan bahwa masyarakat Jawa telah memiliki keterampilan membatik sebelum masuknya kebudayaan India. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa motif batik telah ada sejak abad ke-9. Itu terlihat pada relief Candi Plaosan Lor dan Candi Prambanan. Bahkan, arca Nandiswara dari Candi Singasari (abad ke-12) serta arca Prajñāpāramitā menampilkan kain bermotif batik halus. Hal tersebut menunjukkan bahwa batik telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama.

Sementara jika ditelusuri dalam Kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1995), ditemukan berbagai sinonim untuk batik. Seperti “tinulis,” “tulisnya,” “sinurat,” “aŋjahit,” dan “len suji.”

Kata “tinulis” dan “sinurat” lebih dekat maknanya dengan menggambar daripada menulis. Sementara “aŋjahit” merujuk pada pakaian yang dicat atau dilukis, bukan dalam konteks menjahit seperti pemahaman modern.

Sumber: Shutterstock

“Len suji” merujuk pada sulaman hias, yang kemungkinan besar juga mengacu pada batik tulis.

Nah, jika merujuk pada prasasti Jurungan (954 M), menyebutkan nama “Si Caṇṭiṅ,” yang kemungkinan besar berkaitan dengan canting, alat utama dalam membatik. Sejak abad ke-10, kata “tinulis” telah digunakan dalam naskah kesusastraan, mengindikasikan bahwa aktivitas membatik sudah dikenal jauh sebelum abad ke-17.

Berdasarkan berbagai bukti sejarah dan linguistik, aktivitas membatik telah dilakukan sejak abad ke-10, bahkan mungkin lebih awal. Relief di berbagai candi membuktikan bahwa teknik dan motif batik telah berkembang secara signifikan dalam budaya Jawa. Penggunaan motif geometris dan flora dalam batik klasik mencerminkan pengaruh lokal dan asing yang masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan.

Dokumentasi kolonial yang ada memperkuat bahwa batik telah menjadi bagian penting dari budaya dan ekonomi Jawa, berkembang hingga menjadi seni tekstil yang khas seperti yang dikenal saat ini. Tradisi ini terus diwariskan dan berkembang, menjadikan batik sebagai salah satu warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO pada tahun 2009 sebagai Warisan Budaya Tak Benda.

Sumber: Unesco

Keindahan dan keunikan batik terus bertahan, tidak hanya sebagai pakaian tetapi juga sebagai simbol identitas, filosofi, dan kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, batik tetap relevan dalam berbagai aspek kehidupan, dari upacara adat hingga mode kontemporer. Ini semakin membuktikan bahwa warisan batik terus hidup dan berkembang.

Asep Syaeful Bachri
Asep Syaeful Bachri

Jurnalis Jawa Pos Radar Madiun. Sejarawan aktif, pernah melakukan riset pada situs cagar budaya Benteng Pendem Van den Bosch, Ngawi

Articles: 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *