Gaun Michelle Obama, Oey Soe Tjoen, dan Batik 60 Ribu Rupiah Bu Tien: Jejak Busana Para Istri Pejabat

busana kebaya  istri pejabat
Pakaian istri-istri menteri era Presiden Prabowo. Sumber: merdeka.com

Busana tak sekadar penutup tubuh, melainkan kanvas tempat kuasa dan identitas historis. Di panggung politik global, istri pejabat—seperti Hillary Clinton dan Michelle Obama—mengartikulasikan hal yang kontras melalui pilihan fesyen yang mereka kenakan: yang satu dicerca karena pantsuit-nya yang androgini, yang lain dipuja karena gaun floralnya yang feminim dalam budaya populer Amerika.

Di Indonesia, narasi ini berpadu dengan kearifan lokal; di mana kebaya dan batik tak hanya menjadi simbol budaya, melainkan juga instrumen protokoler yang diatur negara. Dari Oey Soe Tjoen (OST) hingga Bu Tien, tulisan ini menelusuri bagaimana sehelai tekstil menjelma bahasa politik yang bisu namun penuh makna.

Batik tulis halus OST, yang semula merupakan koleksi eksklusif pengusaha berstatus sosial tinggi, mulai merambah kalangan istri pejabat. Seiring pergeseran posisi kain batik penting dalam tradisi seserahan perkawinan antar-orang kaya, kemudian di era Oey Kam Long, kain batik OST diposisikan sebagai cendera mata antar-para pasangan pejabat pemerintah.[1]

Identitas sebagai perempuan ideal pemilik ‘kuasa’ diartikulasikan istri pejabat lewat gaya berpakaian. Dalam konteks general, Hillary Clinton (istri Presiden AS Bill Clinton) dan Michelle Obama (istri Presiden AS Barack Obama) menjadi ilustrasi nyata: keduanya, secara tidak langsung, diwajibkan oleh  menampilkan sisi femaleness yang normatif melalui tubuh, penampilan, dan busana untuk menggaet perhatian masyarakat Amerika yang berbudaya populer luas.[2]

gaya berpakaian hillary clinton
Setelan pantsuit Hillary Clinton di acara Konvensi Pemilihan Presiden dari Partai Demokrat 2016 silam. Sumber: Vogue

Konsistensi Hillary Clinton dalam mengenakan pantsuit (setelan blazer-celana formal wanita) justru memicu konflik dengan budaya populer Amerika. Tokoh seperti Tim Gunn—pembawa acara fashion show ternama AS—mencemoohnya dengan menyatakan busana itu memberinya kesan ‘lesbian’.[3]

gaya berpakaian michele obama
Busana Michele Obama rancangan J. Crew. Sumber: Time

Respons terhadap gaya berpakaian Hillary Clinton berkebalikan dengan Michelle Obama. Contohnya, gaun floral J. Crew (2008) dan gaun polka-dot H&M (2011) digunakan untuk menampilkan citra normatifnya sebagai perempuan kelas menengah Amerika yang lebih mengutamakan kegunaan dan sisi pragmatisnya. Strategi ini berhasil membangun persepsi positif mayoritas masyarakat Amerika.[4]

Mirip dengan AS, gaya berpakaian istri pejabat—terutama istri presiden—di Indonesia melekat erat dengan karakter budaya bangsa (bukan sekadar ‘budaya populer’). Bahkan, protokol busana Ibu Negara diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1987, yang mewajibkan penggunaan busana nasional: kebaya untuk tubuh bagian atas dan kain panjang diwiru untuk tubuh bagian bawah.[5]

ibu tien mengenakan kebaya
Ibu Tien mengenakan kebaya dengan selendang merah. Sumber: Wikipedia

Busana nasional merupakan sesuatu yang inheren dengan nilai kesopanan Indonesia. Keberadaannya secara historis merentang dari 1900-an hingga 1940-an, bersamaan dengan kemunculan nasionalisme. Kombinasi kebaya dan kain bawahan pun tertanam sebagai simbol identitas perempuan Indonesia yang paling otentik.[6]

Signifikansi batik bagi kebaya—sebanding dengan fungsi kebaya encim pada komunitas Tionghoa peranakan—bersumber dari sifatnya yang inheren dalam busana nasional. Akurasi detail motif batik gaya Oey Soe Tjoen, misalnya, menjadi manifestasi nyata nilai ini.

batik oey soe tjoen
Mbak Widya (kanan) sebagai pewaris batik tulis Oey Soe Tjoen. Sumber: Merajut Asa dalam Sejuta Impian

Keindahan detail batik OST menjadikannya daya tarik bagi istri pejabat untuk memperolehnya sebagai pelengkap kebaya. Terkait atau tidak, pada 1971, Ibu Tien (Raden Ayu Siti Hartinah), istri Presiden Soeharto, tercatat memesan sehelai kain batik seharga 60 ribu rupiah dari Kedungwuni—lokasi yang sama dengan Rumah Batik OST.[7]

Busana nasional Indonesia, seperti kebaya dan batik, bukan sekadar pakaian, melainkan simbol budaya yang mencerminkan tarik-ulur antara tradisi dan modernitas, serta antara peran negara dan jati diri individu. Tindakan tokoh seperti Bu Tien yang membeli batik lokal, hingga pilihan busana Michelle Obama dan Hillary Clinton, menunjukkan bahwa pakaian dapat menjadi sarana ekspresi kekuasaan dan identitas, sekaligus cermin bagi bangsa.


[1] Wawancara dengan Widianti Widjaja (Oey Kiem Lian), 49 tahun, di Rumah Batik OST, Kedungwuni, 20 April 2025

[2] Denise Rall et al., “‘Dressing up’ two democratic First Ladies: Fashion as political performance in America”, Australian Journal of Popular Culture, Vol. 7 No. 2, (2018), hlm. 276

[3] Ibid., hlm. 278

[4] Ibid., hlm. 280

[5] Suciati et al., “Nilai Feminitas Indonesia dalam Desain Busana Kebaya Ibu Negara”, Ritme, Vol. 1 No. 1, (Agustus 2015), hlm. 53-54

[6] Ibid., hlm. 54

[7] Tempo, 14 Agustus 1971

Ardhiatama Purnama Aji
Ardhiatama Purnama Aji

Tutor Bahasa Inggris, IPS, Sosiologi, dan Sejarah di New Primagama Solo Baru. Lulusan Ilmu Sejarah Unnes yang pernah menggarap skripsi tentang ekologi politis banjir Surakarta (1861-1938) dan artikel tentang serangan belalang kayu di Jawa (1878-1937).

Articles: 5

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *